Minggu, 10 April 2011

Tawur Kesanga Rangkaian Upacara Pembersihan Jagat Sambut Tahun Baru

 
Umat Hindu sebentar lagi akan memasuki tahun baru Caka 1933 yang jatuh pada tanggal 05 Maret 2011, Saniscara Paing Wuku Menail. Kemeriahan menyambut Nyepi, seperti pembuatan ogoh-ogoh dimasing-masing banjar sudah terlihat dari beberapa waktu lalu. Ibu-ibu dan para wanita sudah sibuk mempersiapkan aneka jajan banten, jejahitan hingga pakaian yang akan digunakan untuk bersembahyang menyambut Nyepi. Pedagang bunga, buah, janur, perlengkapan banten hingga kue turut merasakan semarak pergantian tahun.
Secara harfiah, Nyepi bersangkutan dengan siklus hidup dari waktu ke waktu. Dalam satu siklus selalu bertemu pada titik 0 (nol) dan pada saat itulah disebut Nyepi atau sepi. Karena, menurut Drs. I Wayan Suka Yasa, M. Si, dosen senior Fakultas Ilmu Agama UNHI, pada titik nol merupakan titik balik, titk perhentian dari perjalanan kemarin mempersiapkan perjalanan berikutnya. Dan setelah melewati titik nol, esoknya kita akan memulai lagi dari angka baru yaitu satu dan sering kita menyebutnya dengan tahun baru Caka. “Apakah kita bisa memaknai moment pergantian itu dengan benar-benar tauakah hanya sekedar numpang lewat? Semua tergantung pada individu masing-masing,”lanjut ayah tiga orang putra ini menegaskan.
Dalam kurun perjalanan waktu, orbit makro dan mikro (bumi dan makhluk hidup yang ada didalam bumi) terjadi dinamika hidup ada sisi positif dan ada sisi negatifnya. Untuk itu, serangkaian upacara dilaksanakan oleh umat Hindu sebelum memfokuskan diri pada titik nol atau Nyepi. Seperti upacara Melasti yang dilaksanakan sebelum upacara puncak Nyepi yaitu Pengrupukan atau satu hari sebelum Nyepi. Melasti ditujukan untuk membersihkan pratima atau benda yang disakralkan, mengawali perayaan Hari Suci Nyepi. Sifat negative dilambangkan dengan wujud-wujud demonis, sifat negative itu yang berada didalam diri manusia seperti ambisi, keinginan berlebih, iri hati, mabuk, rakus, bingung hingga gelap mata. “Hal ini disebut dengan Sad Ripu atau enam musuh yang ada dalam tubuh manusia, dan itu harus dikendalikan,”terang pengasuh mata kuliah Kesusasteraan Hindu di UNHI.
Jika musuh dalam diri tersebut dibiarkan tidak dikendalikan maka dapat menyebabkan kemerosotan moral dan rusaknya kehidupan bermasyarakat. Seperti saat ini semakin banyaknya orang-orang bermental korupsi, perang saudara dimana-mana hingga kerusakan alam yang disebabkan kesalahan manusia dan akibatnya menyengsarakan manusia itu sendiri. Sehubungan dengan Hari Suci Nyepi, sifat-sifat buruk ini hendaknya dileburkan dan dikendalikan agar tidak mengikuti lagi ditahun berikutnya. Dan sifat buruk itu diwujudkan dalam bentuk ogoh-ogoh, yaitu boneka besar dan digambarkan sesuai dengan sifat negative manusia. Sifat pemarah digambarkan dengan mata ogoh-ogoh yang melotot, kuku yang panjang, urat leher keluar, badan kekar, gigi bertaring dan bentuk wajah yang menyeramkan. “Seiring perkembangan jaman, ogoh-ogoh mulai muncul bervariasi. Karena tidak ada pakem khusus dalam pembuatan ogoh-ogoh. Sehingga kehadirannya merupakan ide kreatifitas seseorang dan bentuk apapun tidak salah,”sebut Wayan Suka Yasa tegas.
Fungsi ogoh-ogoh adalah sebagai ekspresi jiwa yaitu sifat-sifat negative manusia. Oleh karena itu, ogoh-ogoh mengandung banyak nilai, yaitu nilai filosofis, psikologis, sosial dan estetik. Sebagai nilai filosofis bersangkutan dengan perwujudan dari panca maha bhuta. Nilai psikologis melambangkan ekspresi jiwa dekontruktif. Nilai sosial yaitu nilai kebersamaan dan adanya interaksi juga integrasi masyarakat terbangun. Nilai estetik yaitu adanya tampilan-tampilan seni yang berifat khas Bali, karena tidak ada tempat lainyang membuat sama satu dengan yang lain. Mempunyai ciri khas satu kota dengan kota lain di Bali.
Sifat buruk itu harus disomya atau diruwat atau lebih dikenal dengan dibersihkan agar kembali ke jati dirinya menjadi lebih baik lagi. Dan pada saat Pengrupukan atau Ngerupuk, ogoh-ogoh ini diarak dan diberikan sesuatu yang dapat menyadarkan sifat buruk itu, yaitu dengan caru. Saat pecaruan ini, mengundang semua bhuta kala dari sembilan penjuru arah mata angin, maka disebut dengan Tawur Kesanga. Secara harfiah caru yang disajikan berupa makanan enak untuk bhuta kala, artinya agar saat orang haus diberi minum, orang lapar diberi makan dan orang yang marah diberikan kasih. Sehingga nanti pada saat umat melaksanakan brata penyepian bhuta kala ini dapat dikendalikan dan pada tahun yang baru kita tidak lagi dipengaruhi sifat buruk. Dan ogoh-ogoh setelah diberikan caru hendaknya dipralina karena ada upacara pemanggilan bhuta kala itu tadi. Tapi untuk ogoh-ogoh komersial atau dengan tujuan pameran dan pengenalan budaya tanpa ada pemanggilan maka tidak harus dipralina.
Proses pengrupukan dimulai dengan menghaturkan caru dan disertai dengan membunyikan bunyi-bunyian berbagai alat. Alat itu sederhana saja, seperti bambu, tutup panci, kayu atau apa saja yang dipukul mengeluarkan bunyi. Tujuannya, ungkap Wayan Suka Yasa, adalah untuk mengundang bhuta kala dari sembilan penjuru agar turut menikmati caru yang disajikan. Bunyi-bunyian itu juga disertai dengan membawa sapu dan api yang disimbolkan dengan daun kelapa kering yang dibakar, berfungsi utnuk mengusir atau menyuruh bhuta kala itu kembali setelahmenikmati caru. Proses pencaruan ini dilakukan dengan berkeliling disegala penjuru rumah dan halaman. Diikuti pula dengan suara teriakan yang berarti pelampiasan emosi, secara psikologis setelah melepaskan emosi seseorang akan menjadi tenang dan siap menyambut hari  Suci Nyepi esoknya.
Pembersihan tidak hanya pembersihan diri namun juga membersihkan alam lingkungan kita agar siap juga menghadapi Nyepi. Bagi jiwa dan pikiran, dengan ajaran agama seseorang akan menjalankan dharma. Orang yang mau belajar agama tentu akan tumbuh kesadaran spiritual bahwa misalnya marah adalah buruk dan jika dibiarkan tidak dikendalikan maka akan merugikan diri sendiri dan orang lain. Ciri penyadaran itu adalah api, makanya ogoh-ogoh setelah dicaru dan diarak harus dibakar begitu juga dengan manusia harus bertapa untuk dapat mengendalikan sifat buruk. Pada titik nol, hari Nyepi seseorang harus bertapa dan menetapkan dalam bentuk janji dan brata itulah janji yang harus dilakukan agar mencapai kesempurnaan. Janji juga dapat disebut dengan pengekangan atau pengendalian diri yaitu melaksanakan brata penyepian. Ada empat brata penyepian yang harus dilalui, yaitu amati geni (tidak menghidupkan api), amati lelungan (tidak bepergian), amati kalanguan (tidak menikmati yang indah) dan amati karya (tidak bekerja).
Amati geni atau yang lebih diingat dengan tidak menghidupkan api. Artinya tidak menghidupkan lampu, penerangan dalam bentuk apapun juga api dalam arti mengekang nafsu birahi (sex). Amati lelungan tidak bepergian kemana-mana artinya tidak keluar dari pekarangan rumah. Karena jika bepergian saat kita harus bertapa dan melakukan yoga atau meditasi maka pikiran juga tidak tenang, akan jauh keluar dari hakikat sepi. Amati kalanguan artinya tidak menikmati segala sesuatu yang indah-indah, kenikmatan duniawi akan mengganggu fokusnya pikiran sehingga tapa tak akan berhasil. Seharusnya kita juga tidak menikmati makanan, karena makanan adalah kenikmatan duniawai. Amati karya atau tidak melakukan segala aktifitas fisik, artinya kita diharapkan benar-benar diam tidak bekerja agar dapat merefleksikan dirinya. Tidak melakukan ktifitas bertujuan agar kita dapat memikirkan langkah pertama yang harus kita lakukan pada tahun yang baru, yang akan kita songsong esok hari.
Melaksanakan brata penyepian pada titik nol mengharuskan lingkungan sekitar benar-benar sepi, untuk itu Nyepi alangkah baiknya jika disebut Hari Suci Nyepi bukan Hari Raya Nyepi. Karena pada hakikatnya, manusia harus mulat sarira dengan cara yoga dan meditasi. Yaitu menghubungkan diri pada Tuhan untuk memohonkan kerahayuan tidak hanya untuk diri sendiri tapi juga untuk masyarakat luas dan bumi tempat kita berpijak. Setelah merenung pada Hari Suci Nyepi, esoknya orang harus kembali ke alam nyata memulai hari baru di tahun yang baru. Lebar atau selesai melakukan tapa brata penyepian dilaksanakanlah Ngembak Nyepi. Ngembak yang berarti ceria atau riang atau penuh kasih, diartikan sehari lepas Nyepi orang-orang harus kembali menyambut haribaru dengan penuh kegembiraan, penuh kasih dengan sesama dan alam semesta. Alangkah baiknya jika saling kunjung mengunjungi dan memanfaatkan waktu untuk berkumpul dengan keluarga besar. Sebagai wujud shanti atau saling memaafkan agar setiap hari dapat berhubungan dengan penuh kasih. 
Pelaksanaan Hari Suci Nyepi tidak lagi sesui dengan pakem ajaran agama, sebagian besar masyarakat hanya melaksanakan sekedar ceremony belaka. Dilaksanakan hari ini dengan pesta meriah, berjudi, minum-minum dan esoknya kembali lagi seperti hari sebelumnya. Tidak ada bedanya melewati Nyepi kemarin dengan Nyepi tahun ini. Peningkatan kesadaran masyarakat sangat diperlukan melihat kondisi lingkungan dan alam terkini, karena jika bukan kita maka siapa yang akan peduli dengan alam semesta ini. Peranan pemuka agama menjadi penting untuk membimbing umat agar kembali pada hakikat manusia yang hidup untuk menunggu ajal menjemput. Jika menjalankan hidup dengan penuh kesadaran berbagi pada sesama dan alam semesta maka proses penantian itu akan indah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar