Minggu, 10 April 2011

Pura Agung Jagatnata Saksi Perjalanan Kota Denpasar

 
Provinsi Bali identik dengan kota Denpasar, kota yang menawarkan berbagai kenikmatan baik untuk wisatawan maupun penduduk asli. Namun bagi wisatawan asing, kota Denpasar bukan merupakan pilihan yang menarik untuk berlibur. Tak banyak keindahan alam terpampang disana tapi sebagai pusat hiburan Denpasar tak kalah ingar binger dengan kota-kota besar lainnya di Indonesia. Bali yang disebut sebagai pulau seribu Pura pun menawarkan wisata budaya peninggalan arsitek kuno. Termasuk Denpasar yang juga mempunyai banyak situs sejarah warisan leluhur, salah satunya adalah Pura Agung Jagatnata yang terletak di pusat kota Denpasar.
Jantung kota Denpasar berada di Jalan Gajah Mada, selain sebagai pusat pemerintahan juga sebagai pusat perdagangan. Pada awalnya, Denpasar merupakan pusat pendidikan, banyak pelajar yang datang dari seantero Bali sejak pusat pemerintahan dipindahkan ke Denpasar. Kegiatan terpusat di Denpasar dan muncullah pemikiran untuk membuat satu tempat suci yang terpusat agar mudah untuk melakukan persembahyangan di rahinan besar seperti purnama dan tilem. Sehingga tidak perlu memuja dari merajan masing-masing, tentu ini akan merepotkan bagi perantau karena tidak efektifnya waktu. Ditambah lagi adanya himbauan dari Parisadha pusat yang mengumandangkan lahirnya Puja Tri Sandhya, yaitu bersembahyang tiga kali sehari. “Maka timbul pertanyaan dari tokoh-tokoh agama dimana masyarakat Denpasar yang dominan pendatang ini bersembahyang,”ungkap Prof. Dr. Ida Bagus Gunadha M.Si
Dari pertanyaan itu, muncullah ide dari tokoh-tokoh agama tersebut untuk membuat pura yang universal. Yaitu, lanjut Direktur Pasca Sarjana UNHI ini, pura yang diperuntukkan memuja Tuhan tanpa melihat silsilah, keturunan atau wangsa dan menjadi pura sungsungan jagat, siapa saja bisa dan boleh bersembahyang disana. Tercetusnya ide ini juga melihat adanya lahan kosong yang tepat berada di pusat kota dan saat itu hanya digunakan sebagai tugu peringatan. Kebetulan, beber Prof. Gunadha, lahan itu milik Kodam kemudian ide dari tokoh agama ini diajukan pada pertemuan dengan masyarakat sekitar yang dihadiri pula Mayor Ida Bagus Pinda. Yang kemudian Mayor Ida Bagus Pinda menghadap Kolonel Supardi untuk membahas masalah penggunaan lahan kosong milik Kodam. Kemudian proposal pembangunan disetujui oleh Brigjen Sukertya karena Kolonel Supardi keburu dipindah tugaskan. “Sejak tahun 1964 perintisan pembanguan pura ini dimulai dan Mayor Ida Bagus Pinda yang menjadi ketua panitianya,”sebut Dosen yang juga Guru Besar di UNHI ini.
Selain Mayor Ida Bagus Pinda, banyak tokoh penting sebagai penggagas pembangunan pura ini seperti Ida Bagus Putu Meregeg nama dari Ida Pedanda Gede Manuaba Sidhanta saat walaka. Yang kemudian menjadi pemangku Pura Jagatnatha dan pedanda hingga lebar pada tahun 2009. Juga I Gusti Ngurah Ketu sebagai ketua panitia pelaksana dan perencanaan pembangunan pura, juga I Gusti Ketut Anggara sebagai sangging (arsitek) pembangunan pura. Proses perjalanan panjang pembangunan pura ini dirasakan warga sekitar pura, dimulai penyuluhan tokoh agama dan tokoh masyarakat Denpasar tentang fungsi dibangunnya pura. Setelah mereka mengetahui tujuan dibangunnya pura ini sebagai sungsungan jagat, masyarakat pun berbondong-bondong membantu pembangunan pura. Tak hanya masyarakat sekitar tapi juga mengerahkan tenaga dari pelajar dari PGA, IHD untuk mengumpulkan batu. Pengalaman ini dirasakan juga oleh Ida Pedanda Istri Oka, putri dari  Ida Pedanda Gede Manuaba Sidhanta yang saat itu juga masih berstatus sebagai mahasiswi. “Pembangunan pura ini dilakukan secara gotong royong, kami harus mengambil batu hingga ke Sempidi,”ungkapnya.
Dalam rapat pertemuan antara tokoh agama, tokoh masyarakat adat terjadi perdebatan panjang pemberian nama pura yang akan digunakan sebagai tempat pemujaan seluruh umat. Akhirnya disepakati nama Jagatnatha, yang artinya jagat adalah dunia dan natha adalah pemimpin. Yaitu menstanakan Tuhan dalam manifestasinya sebagai penguasa dunia, yang dipersempit menjadi stana Tuhan sebagai penguasa pemerintahan karena pada waktu itu pura Jagatnatha berada di pusat pemerintahan. Sebagai arsitek I Gusti Ketut Anggara yang berasal dari Belong, Denpasar merancang pura berbentuk padmasana dan menggunakan batu putih. Kini rancangan padmasana dengan batu putih sudah dipakai dimana-mana sehingga Pura Jagatnatha menjadi yang pertama. Dengan konsep padmasana, jelas Prof. Gunadha, umat menyembah Tuhan secara vertical yaitu kepada Ida Shang Hyang Widi Wasa. Jadi semua umat Hindu dari kasta mana saja, strata social apapun bisa bersembahyang di Pura Jagatnatha. “Konsepnya berbeda dengan pura desa, dalem dan puseh yang dibangun untuk menstanakan Tuhan secara horizontal,”lanjutnya.
Perjalanan pembangunan pura juga mengalami berhenti total karena pada saat itu,ungkap Prof. Gunadha, sedang terjadi pergolakan politik. Sehingga peletakan batu pertama tahun 1964 berjalan perlahan karena sistemnya gotong royong hingga tahun 1967. Berhenti satu tahun karena pergolakan politik dan baru satu tahun kemudian bisa berjalan lagi. Pada akhirnya tahun 1975 sudah berwujud pura dan dilakukan pemlaspas alit kemudian tahun 1978 seluruh bangunan pura selesai dan dilakukan Ngeteg Linggih dan Nanem Pedagingan. “Uniknya dari pembangunan sampai akhir, sangat sedikit biaya yang dikeluarkan dalam bentuk uang. Dan itu pun dana dari pemerintah karena sebagian besar adalah dana punia masyarakat yang tidak hanya bentuk uang tapi juga tenaga, waktu dan barang. Seperti warga bukit pecatu yang menyumbangkan batu putih sebagai bahan dasar pembangunan pura ini. Juga dengan emas yang dijadikan Chyntia merupakan yadnya dari pedagang diseluruh pasar Badung,”tegas Prof. Gunadha yang saat itu bertindak sebagai ketua pelaksana karya Ngeteg Linggih Pura Jagatnatha tahun 1978.
Seiring perkembangan Pura Jagatnatha, awalnya sangat ramai karena menjadi sentral tempat persembahyangan umat Hindu di Denpasar. Pura Jagatnatha sering digunakan oleh kaum cerdik cendekia untuk melakukan aktivitas Nyastra, yaitu aktivitas yang berhubungan dengan dunia seni dan sastra. Seperti diskusi sastra, membaca sloka, mekidung, menggiatkan karya seni seperti megambel, menari tapi kini kegiatan itu sudah tidak ada lagi. Karena masing-masing sekolah sudah mempunyai padmasana sendiri sehingga Pura Jagatnatha hanya digunakan pada saat rahinan purnama, tilem dan hari raya besar. “Diharapkan kegiatan seperti itu tetap dilaksanakan agar anak muda jaman sekarang tetap pada jalan Darma dan Ajeg Bali tetap bisa dipertahankan. Ajeg Bali agar tidak dimulut saja tapi benar-benar dijalankan oleh semua kalangan masyarakat,”harap Prof. Gunadha yang berasal dari Tabanan ini.

1 komentar:

  1. Bukan Mayor Ida Bagus Pinda, tapi yang betul: Mayor I Gusti Ngurah Pindha.
    Bukan Brigjen Sukertya, tapi Sukertio, Panglima Kodam Udayana. Dan setahu saya arsiteknnya adalah Ida Bagus Tugur.
    Ananda Dimitri

    BalasHapus