Minggu, 10 April 2011

Desa Adat Sebagai Benteng Budaya Bali

Pulau Bali yang dikenal masyarakat luas hingga ke manca Negara adalah tempat wisata lengkap. Semua keindahan alam, budaya adat istiadat hingga kerajinannya ada dalam satu pulau kecil menjadikan daya tarik tersendiri untuk wisatawan mampir ke Pulau Seribu Pura ini. Tak hanya cukup sekali tapi bisa dipastikan mereka yang pernah datang ke Bali pasti ingin kembali merasakan wisata yang kental dengan spiritualnya ini. Sehingga jika ditilik dari data statistika pertambahan kunjungan wisatawan, pasti grafiknya naik dan semakin naik.
Tak dipungkiri pertambahan kunjugan wisatawan memberikan banyak keuntungan bagi pengelola bidang pariwisata. Namun ternyata tak semua keberuntungan itu dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat Bali. Contohnya adalah masyarakat yang hidup didesa-desa, mereka yang masih menjaga tradisi budaya turun temurun dan juga lingkungannya tak bisa merasakan keberhasilan perkembangan pariwisata. Sehingga, menurut Henky Hermantoro, Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Kepariwisataan, Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata Bali, pengaturan tata ruang desa sangat penting sebagai model pengembangan pariwisata berkualitas.
Henky menyebutkan jumlah penduduk miskin di Bali saat ini lebih banyak dari pada masyarakat dengan ekonomi menengah. Dan sebagian besar dari penduduk miskin tersebut sebanyak 64% mereka tinggal di pedesaan. Sayangnya dalam system perencanaan pengembangan pariwisata mereka hanya menjadi pelengkap kebijakan karena masyarakat desa tidak dilibatkan didalamnya. Terbukti dengan pembinaan dan pendampingan, lanjut Henky, sudah ada empat desa di Bali yang bisa dijadikan percontohan dalam hal desa wisata ekologis. Keempat desa ini adalah Tenganan Pegringsingan-Karangasem, Banjar Adat Kaidan-Badung, Dukuh-Sibetan Karangasem dan Nusa Ceningan-Klungkung. “Desa-desa ini sudah mempunyai kajian hukum dan ilmiah tentang penataan ruangnya. Dan mereka juga masuk dalam Jaringan Rkowisata Desa (JED). Sehingga keempat desa ini layak dijadikan percontohan desa wisata untuk seluruh Indonesia,”tutur Henky disela-sela acara Seminar dan Lokakarya (Semiloka), Rabu (23/3) kemarin yang mengambil tema “Mewujudkan Desa Berdaulat Dalam Pembangunan Wisata Melalui Penataan Ruang”. Acara ini didukung oleh Yayasan Wisnu, TIFA dan Bali Desa Wisata Ekologis (DWE).
Dalam kesempatan yang sama, I Gede Ardika, Ketua Pembina Bali DWE (Desa Wisata Ekologis) menyatakan bahwa sudah saatnya masyarakat pedesaan melalui Desa Pekraman harus menjadi desa yang berdaulat. Kerena peranan Desa Pekraman sangat besar, yaitu sebagai tulang punggung pokok yang menjadi benteng dan bisa memegang kendali dalam mengembangkan wisata budaya. Perkembangan wisata berbasis budaya yang dinikmati wisatawan kini sudah sangat pesat dan sudah saatnya untuk kesejahteraan masyarakat Bali. Kebudayaan Bali yang dimiliki masyarakat Bali dijiwai oleh Agama Hindu yang dalam perjalanannya memegang teguh prinsip ajaran Tri Hita Karana. Yang salah satunya adalah menjaga keseimbangan hubungan manusia dengan alam, artinya manusia tidak boleh serakah dalam memanfaatkan alam. “Manusia harus belajar berkata cukup, tidak perlu berlebihan. Karena yang berlebihan akan merusak,”tegas Ardika.
Seharusnya mulai ditekankan membangun Bali dengan mengangkat wisata budaya untuk sepenuhnya untuk kesejahteraan masyarakat Bali. Bukan pariwisata yang menjadi benalu dan merugikan masyarakat Bali pada umumnya. Karena konsep pariwisata budaya adalah mengangkat keunikan sesuai dengan kelokalan namun diikuti dengan kemampuan memilih dan memilah juga mengelola informasi dari luar untuk perkembangan pariwisata. Bali kini, lanjut Ardika, harus mulai membatasi masuknya jumlah wisatawan karena Bali tidak bisa menerima wisatawan dalam jumlah tak terbatas. Jangan lagi mementingkan kuantitas atau seberapa banyak wisatawan yang masuk ke Bali jika factor pendukung masih seperti sekarang ini. Alangkah lebih baiknya jika memikirkan kualitas wisatawan yang masuk ke Bali, yang terpenting adalah aspek sosial budaya dan seberapa intens interaksi wisatawan dengan masyarakat sekitar. “Jangan sampai masyarakat Bali yang menggunakan air dalam segala aspek kehidupannya harus kehilangan sumber airnya. Karena Bali adalah agama tirta, jika sumber air musnah maka habislah Bali,”ujar Ardika melihat eksplorasi air berlebihan untuk dunia pariwisata belakangan ini.
Partisipasi masyarakat desa dalam pengembangan pariwisata budaya sangat dibutuhkan. Dalam semiloka yang dihadiri oleh ratusan peserta naik dari desa pekraman se-Bali, DPRD dan juga perwakilan pemerintah ini diharapkan partisipasi dalam mendukung wisata budaya ekologis. Paradigma yang relevan menurut Prof. Dr. I Gede Pitana, Kepala Badan Pengembangan Pariwisata, adalah dengan jalan ketiga yang terbaik, yaitu Eco Wisata untuk meningkatkan kualitas pariwisata sekaligus pelestarian lingkungan. Pariwisata menjadi bagian terintegral dengan budaya dan adapt istiadat sebelumnya. Sehingga dengan tata ruang ditingkat pedesaan yang sudah dimulai dan segera membidik desa-desa lain harus mempunyai asas legalitas dan didudukkan sebagai rencana rinci tata ruang pedesaan. “Untuk itulah kehadiran pemangku penting desa, yaitu Bendesa adat yang mewakili Desa Pekraman. Agar mulai tergerak dan mau membuat tata ruang desanya dan akan diketahui kelebihan dan keunggulan potensi desa yang mereka miliki,”pungkas Pitana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar